Bondowoso, detik1.com – Begitu banyak retorika Inovasi Daerah yang dicanangkan Pemerintah Daerah Kabupaten Bondowoso untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Di Pemkab Bondowoso, “ORANG SAKIT” tampaknya menjadi cara instan untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Faktanya, pada Tahun Anggaran 2021, “orang sakit” di RSU DR. H. Koesnadi menyumbangkan pendapatan daerah sebesar Rp 108,5 milyar dan Dinas Kesehatan sebesar 65,6 miliar dari pelayanan kesehatan dan dana kapitasi JKN.
Dari total 233 milyar PAD pada APBD Bondowoso TA 2021, sebesar 65% PAD di dapat dari “orang sakit” pasien RSU dan Puskesmas, 35 % sisanya dari berbagai sektor lainnya seperti pariwisata, pajak, retribusi dan lainnya.
Disisi lain, bidang pariwisata dengan gerakan Ijen Geo Park belum bisa mendongkrak PAD dari sektor pariwisata. Dinas Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Pemkab Bondowoso hanya menyumbang PAD sebesar Rp. 464,9 juta. Selain itu, PAD dari sektor Pertanian sebesar Rp. 386,2 juta, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Rp. 161,6 juta, Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Rp. 1,516 Milyar dan Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan Rp. 56,9 juta.
Selain itu PAD juga didapat dari Pajak Daerah 41,3 Milyar, Retribusi Daerah 28,598 milyar, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Rp. 4,2 milyar.
ketua LSM AKP, Edy Wahyudi SH menilai, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan otonomi daerah belum optimal. Dalam otonomi daerah, rendahnya kemampuan mengelola keuangan dan aset, lemahnya perencanaan, pemprograman, penganggaran, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan dan pertanggungjawaban mengakibatkan munculnya indikasi korupsi, pemborosan, salah alokasi tidak sesuai dengan skala prioritas kebutuhan masyarakat.
“Yang menjadi catatan kritis kami, penyerapan anggaran sampai dengan tanggal 29 Mei 2022, di laman Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan memberikan keterangan pelaksanaan “Data APBD Murni, realisasi APBD s.d Mei 2022, – data diterima SIKD per 29 Mei 2022 (Terindikasi anomali, perlu konfirmasi ke Pemda terkait),” pungkasnya.
Diduga yang terjadi selama ini, pengelolaan yang dilakukan SKPD ini rentan dugaan korupsi, baik melalui mekanisme mark up (biaya) maupun mark down (penerimaan/pendapatan) daerah. Modus mark up biaya, mark down pendapatan, laporan fiktif, penyalahgunaan wewenang, dan dugaan penggelapan masih tetap terjadi sampai sekarang.
“Mark up dilakukan pada pembiayaan atau pengeluaran anggaran dengan menaikkan jumlah pengeluaran yang seharusnya. Sedangkan modus mark down dilakukan pada pengelolaan pendapatan daerah. Misalnya, potensi pendapatan yang ada sebenarnya besar, namun dalam perencanaan pendapatan dilakukan penurunan nilai potensi yang ada. Dalam laporan realisasi pendapatan daerah pun di duga nilai yang dilaporkan sering tidak sesuai dengan realisasi sebenarnya,” ujarnya.
Ambil contoh mark down, pendapatan pajak restoran dan sejenisnya hanya Rp. 3,3 milyar. Pendapatan tersebut jika dikonversi per hari, hanya sebesar Rp.9 jutaan saja. Jika pajak restoran dikenakan 10% dari omset, berarti dalam 1 hari omset seluruh restoran di Bondowoso hanya mencapai Rp. 90 jutaan saja, ini jelas tidak masuk akal, karena ada puluhan bahkan lebih restoran dan warung makan dengan omset per hari lebih dari 10 juta rupiah.
Contoh lain mark down adalah Retribusi pengujian kendaraan bermotor yang hanya menyumbang PAD sebesar Rp. 370 juta. Jumlah kendaraan niaga wajib KIR Kabupaten Bondowoso adalah 4.054 kendaraan. Biaya retribusi uji KIR meliputi : Formulir pendaftaran: Rp. 15.000, Buku Uji baru: Rp. 85.000, Plat Uji: Rp. 15.000, Stiker samping: Rp. 15.000, Biaya uji untuk JBB < 3.500 kg: Rp. 50.000, Biaya uji untuk JBB > 3.500 – 8.000 kg: Rp. 75.000, Biaya uji untuk JBB < 8.000 – 14.000 kg: Rp. 100.000, Biaya uji untuk JBB > 14.000 kg: Rp. 150.000.
Hasil Investigasi Ketua LSM AKP, Edy Wahyudi S.H.,di lapangan, rata-rata pemilik kendaraan niaga mengeluarkan biaya KIR antara Rp. 250.000 sampai dengan Rp.500.000, tergantung kondisi dan kelayakan kendaraan, yang akan dikenakan denda oleh pihak penguji KIR setiap ada kerusakan pada kendaraan. Jika kita hitung potensi pendapatan KIR terendah adalah, 4.054 kendaraan x Rp. 250 ribu x 2 (dua) kali KIR dalam setahun adalah sebesar Rp.2,027 milyar. Atau dapat dikatakan kehilangan potensi retribusi KIR sebesar 1,7 milyar dalam setahun.
Modus lain adalah dugaan laporan fiktif pada pelaporan dana bantuan sosial atau hibah. Misalnya, pelaksanaan proyek Bansos Sapi yang saat ini di tangani Kejaksaan Negeri Bondowoso. Diduga, banyak penerima Bansos sapi, tetapi hanya tinggal kandangnya, sapi sudah tidak ada.
Masih banyak modus-modus lain dalam memanipulasi perencanaan dan pelaksanaan anggaran. Seperti suntikan dana ke Badan usaha Milik Daerah (BUMD) Bondowoso Gemilang, yang saat ini masih dalam proses hukum di Kejaksaan Bondowoso.
Dibutuhkan langkah konkrit untuk melakukan pengawasan terhadap modus-modus diatas oleh masyarakat, DPRD, BPK serta Aparat Hukum. Kunci pokoknya “NIAT” seluruh elemen masyarakat dan mudahnya aksesibilitas informasi dan data. Jika kendala akses data ini belum terpecahkan, masyarakat tidak akan bisa melakukan pengawasan. Walau ada Undang-Undang Keterbukaan Publik, implementasi di lapangan belum menunjukkan sinyal positif.
“Di Bondowoso, RKA-SKPD dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) masih menjadi dokumen rahasia. Masyarakat tidak tahu detil anggaran pelaksanaan dan laporan pertanggungjawaban program. Sehingga pengawasan masyarakat dalam kontrol anggaran masih sangat kurang,” tutupnya.
(Red/Tim)