Di Balik Kasus BSPS Sumenep: Ketegasan Atau Kosmetik Hukum

Doc.Foto Nanang Wahyudi Tokoh Muda Asal Kepulauan Sapudi

Opini: detik1.co.id // Pengusutan dugaan korupsi program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) tahun 2024 di Kabupaten Sumenep mulai menunjukkan kejanggalan.

Kejaksaan Negeri Sumenep tampak berjalan dengan pola yang diskriminatif. Ada kepala desa yang dipanggil, ada pula yang luput dari penyelidikan.
Ada yang dipilih untuk diseret, sementara yang lain “diamankan” di balik bayang-bayang framing.

Padahal, sejak awal, laporan warga penerima BSPS, baik ke Polres maupun Kejaksaan, sudah jelas dan terang: mereka mengeluh keras tentang penyaluran bantuan.

Mengapa kepala desa tertentu tak dipanggil? Mengapa fakta-fakta diabaikan?

Silakan Anda nilai sendiri.

Sejak awal, aroma pengalihan isu sudah tercium. Publik dikelabui untuk percaya bahwa ini adalah murni proses penegakan hukum.

Jika hukum benar-benar ditegakkan, semestinya penyelidikan dilakukan secara menyeluruh—tanpa pandang bulu.

Namun, alih-alih menuntaskan penyelidikan, pemeriksaan saksi justru memunculkan pertanyaan besar:
Apakah Kejaksaan Negeri Sumenep memiliki cukup keberanian untuk menyentuh agen penyalur dan para aspirator BSPS?

Sebagaimana diketahui, para aspirator tersebut adalah anggota DPR RI di Senayan, yang merekomendasikan calon penerima BSPS melalui jaringan orang-orang dekat mereka, sebelum Balai Besar PUPR menetapkan SK penerima.

Beranikah Kejaksaan memeriksa mereka? Atau setidaknya memanggil orang-orang kepercayaannya?

Yang terjadi saat ini, publik Sumenep hanya disuguhi pertunjukan investigasi yang kental dengan nuansa “pilih lalu tebang.”

Padahal, fakta di lapangan menunjukkan: dana BSPS yang diterima warga tidak sampai 50% dari seharusnya. Bukti berupa video, foto, dan keterangan penerima sudah ada di tangan penyidik.

Dalam hukum, dua alat bukti sudah cukup untuk melangkah. Dan bukti-bukti itu kini tersedia.

Jika Kejaksaan serius, semestinya semua pihak diperiksa: mulai dari pelaksana di tingkat desa, toko bangunan, pendamping, hingga agen dan para aspirator.

Baca Juga:
Miftahol Arifin Dorong Percepatan Pembangunan Fasilitas Umum di Kepulauan Sapudi

Jika tidak, publik akan menilai: ini semua hanya kosmetik. Bukan langkah nyata memberantas korupsi.

Seperti bisik-bisik yang beredar di warung Pak Jamal: “Pilih dulu, baru ditebang.”

error: