Situbondo: Naik Kelas atau Berkelas, Mana Yang Lebih Baik?

Doc.Foto Gambar Ilustrasi Situbondo Naik Kelas

Situbondo, detik1.co.id // Dalam beberapa tahun terakhir, geliat pembangunan di Kabupaten Situbondo mulai terlihat semakin nyata. Mulai dari pembenahan infrastruktur, peningkatan pelayanan publik, hingga promosi pariwisata yang makin gencar digaungkan. Warga lokal hingga pejabat publik mulai menggaungkan slogan-slogan optimistis: Situbondo Naik Kelas! Tapi, di sisi lain, ada pula yang mendorong narasi berbeda: Situbondo Harus Berkelas! Lantas, mana yang sebenarnya lebih baik? Naik kelas atau berkelas?

Mari kita kupas keduanya secara jernih.

“Naik Kelas”: Fokus pada Perubahan Struktural
Jika kita memakai istilah “naik kelas”, maka orientasi utama terletak pada kemajuan dalam skala kuantitatif. Artinya, Situbondo sedang — dan harus — bergerak dari satu tingkatan ke tingkatan yang lebih tinggi dalam hal indikator pembangunan.

Contohnya:

Peningkatan APBD dan serapan anggaran yang lebih maksimal.

Bertambahnya jumlah investasi dari luar daerah.

Tumbuhnya UMKM berbasis digital.

Terbukanya lapangan kerja baru.

Naiknya angka kunjungan wisatawan per tahun.

Semua ini mencerminkan upaya sistemik agar Situbondo tak lagi dianggap sebagai “daerah singgah” di antara Banyuwangi dan Bondowoso, melainkan menjadi tujuan itu sendiri.

Gambar Ilustrasi Situbondo Berkelas

Naik kelas juga berarti membenahi fondasi. Jalan diperbaiki bukan hanya agar mulus, tapi agar mendukung mobilitas ekonomi. Sektor pendidikan dan kesehatan ditingkatkan bukan semata sebagai program, tapi sebagai dasar dari masyarakat yang lebih produktif dan mandiri.

Namun, ada satu kekhawatiran: jika hanya fokus pada naik kelas, kita bisa terjebak pada pencapaian-pencapaian yang sifatnya administratif atau angka-angka statistik semata — sementara kualitas kehidupan sosial dan nilai-nilai budaya justru tergerus.

“Berkelas”: Menyentuh Kualitas yang Lebih Dalam
Sebaliknya, ketika kita bicara Situbondo yang berkelas, kita berbicara tentang identitas, citra, dan kualitas hidup secara menyeluruh. Daerah yang berkelas tidak hanya maju secara fisik dan ekonomi, tapi juga elegan secara nilai.

Baca Juga:
Dua Tersangka Perampok Minimarket Yang Menggunakan Pistol Mainan Berhasil di Amankan Polrestabes Surabaya

Apa maksudnya?

Pelayanan publik yang ramah dan profesional.

Warga yang sadar lingkungan dan budaya.

Kota yang tertata, bersih, dan nyaman bagi semua kalangan.

Masyarakat yang toleran, terbuka, namun tetap berakar pada tradisi.

Berkelas adalah soal bagaimana Situbondo dipersepsikan, bukan hanya oleh investor atau wisatawan, tapi oleh warganya sendiri. Apakah kita bangga menjadi bagian dari Situbondo karena nilai-nilai yang dijunjung tinggi? Apakah kota ini menjadi tempat yang layak huni, bukan sekadar layak untung?

Berkelas tidak selalu berarti mewah. Tidak harus punya gedung tinggi atau kafe kekinian di setiap sudut jalan. Tapi kota yang berkelas tahu siapa dirinya, tahu kelebihan dan kekurangannya, dan tahu cara membawa diri dengan anggun dalam percaturan daerah lain di Indonesia.

Jadi, Mana yang Lebih Baik?
Jawabannya bukan salah satu. Justru, Situbondo perlu naik kelas dan sekaligus berkelas.

Naik kelas adalah proses. Berkelas adalah arah.
Naik kelas bicara soal apa yang dibangun. Berkelas bicara soal bagaimana kita membangun dan untuk siapa pembangunan itu dilakukan.

Keduanya saling melengkapi. Daerah yang hanya naik kelas tanpa berkelas akan tampak canggih, tapi kosong. Sebaliknya, daerah yang ingin berkelas tanpa naik kelas akan idealis tapi tertinggal.

Penutup: Jalan Menuju Situbondo yang Paripurna
Untuk mewujudkan Situbondo yang maju dan bermartabat, kita perlu menyatukan dua semangat ini. Pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha harus sepakat bahwa pembangunan bukan hanya soal beton dan angka pertumbuhan, tapi juga soal budaya, martabat, dan kebahagiaan warganya.

Situbondo bukan hanya kota kecil di pesisir timur Pulau Jawa. Ia adalah rumah bagi sejarah, laut yang menenangkan, dan masyarakat yang punya semangat besar. Kini, waktunya kita bertanya — bukan hanya sudah naik kelas atau belum, tapi juga: apakah kita sudah berkelas dalam berpikir, bertindak, dan bermimpi?

Baca Juga:
Dengan Semangat Rakyat, Ji Lilur Jadikan Indonesia Kiblat Budidaya Lobster Dunia

Opini Oleh: Benny Hartono Pimpinan Redaksi DetikOne

error: