Dalam Syariat Hukum Islam Seorang Koruptor Tidak Layak Menjadi Pemimpin?

Doc.Foto Ilustrasi Seorang Koruptor

detik1.co.id //Dalam ajaran Islam, kepemimpinan bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga amanah dan tanggung jawab besar yang harus dijalankan dengan kejujuran, keadilan, dan integritas. Hukum syariat menekankan bahwa seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat yang dapat dipercaya dan mampu menjadi teladan bagi masyarakat. Oleh sebab itu, tindakan korupsi sangat dikecam dalam Islam karena bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran.

Korupsi adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang menyebabkan kerugian bagi masyarakat luas. Dalam Al-Qur’an dan hadits, Islam menekankan bahwa setiap tindakan yang mendatangkan kerugian bagi orang lain dan mencederai kepercayaan publik merupakan dosa besar. Korupsi termasuk dalam kategori tersebut karena mengkhianati amanah, memiskinkan rakyat, dan menciptakan ketidakadilan sosial.

Allah SWT berfirman:
_”Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil.”_ (QS. Al-Baqarah: 188)

Dari ayat tersebut, jelas bahwa mengambil harta secara tidak sah, termasuk melalui korupsi, sangat dilarang. Pemimpin yang melakukan korupsi melanggar amanah yang diberikan oleh Allah dan masyarakat, sehingga dia tidak lagi layak memegang jabatan kepemimpinan.

Sehingga Menurut hukum syariat, pemimpin haruslah seseorang yang jujur, amanah, dan adil. Jika seorang pemimpin terjerat kasus korupsi, apalagi sampai menjadi tersangka atau terbukti bersalah, ia tidak pantas untuk melanjutkan kepemimpinannya. Dalam Islam, pemimpin koruptor bukan hanya merusak sistem pemerintahan, tetapi juga menciptakan ketidakpercayaan di tengah masyarakat.

Pemimpin yang korup dianggap melanggar tiga prinsip utama kepemimpinan dalam Islam:

1. Amanah –Menjalankan jabatan dengan tanggung jawab dan kepercayaan penuh dari masyarakat.
2. Adil – Mengambil keputusan tanpa memihak, berdasarkan prinsip keadilan.
3. Shiddiq –Selalu jujur dan dapat dipercaya dalam perkataan dan perbuatan.

Jika seorang pemimpin tidak memenuhi ketiga kriteria ini, Islam tidak membenarkan ia tetap menjabat. Korupsi menjadi bukti nyata bahwa pemimpin tersebut telah gagal menjaga amanah dan kepercayaan publik.

Dalam hukum syariat, pemimpin yang melakukan korupsi harus mendapatkan sanksi yang tegas. Selain dicopot dari jabatannya, ia juga harus bertanggung jawab secara hukum dan moral atas kerugian yang diakibatkan. Islam mengajarkan bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban, bukan hanya di dunia tetapi juga di hadapan Allah SWT di akhirat.

Oleh karena itu, memberikan jabatan kepada seseorang yang terbukti korup tidak hanya bertentangan dengan syariat, tetapi juga berpotensi merusak kesejahteraan dan moralitas masyarakat.

Hukum syariat Islam dengan tegas menolak keberadaan pemimpin koruptor karena korupsi bertentangan dengan nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan amanah. Kepemimpinan dalam Islam adalah bentuk ibadah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Oleh karena itu, siapa pun yang terlibat dalam korupsi, baik sebagai tersangka maupun terbukti bersalah, tidak layak untuk memimpin.

Masyarakat perlu terus mendorong pemimpin yang jujur dan adil agar pemerintahan dapat berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat, demi mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi semua.

Penulis Artikel: Benny Hartono Pimpinan Redaksi Media DetikOne 

error: