Buol, Sulteng, detik1.co.id // Aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di hulu Sungai Kokobuka, Kecamatan Tiloan, Kabupaten Buol, ramai diperbincangkan. Aktivitas yang hingga kini belum tersentuh oleh pihak berwenang tersebut viral di berbagai media sosial dan menjadi perhatian masyarakat.
Kasus ini mencuat setelah muncul dugaan keterlibatan oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) dan seorang wartawan dari salah satu media online di Buol sebagai pelaku dan pendukung aktivitas PETI tersebut. Kedua oknum tersebut diduga kuat memberikan perlindungan terhadap operasional tambang ilegal di wilayah itu.
Seorang oknum wartawan dari media online di Kabupaten Buol disebut-sebut meminta uang sebesar Rp 5 juta kepada seorang cukong tambang bernama Iwan Kerompot. Uang tersebut diklaim sebagai “uang koordinasi” yang nantinya akan dibagikan kepada wartawan lain di wilayah Buol.
“Saya sudah memberikan uang sebanyak Rp 5 juta kepada seorang wartawan media online di Kabupaten Buol. Katanya uang itu akan dibagikan kepada semua wartawan,” ungkap Iwan Kerompot melalui rekaman telepon via WhatsApp.
Selain itu, disebutkan bahwa aktivitas tambang emas ilegal di Kokobuka berjalan lancar karena adanya dukungan dari beberapa oknum, termasuk wartawan. Hal ini menimbulkan polemik dan upaya untuk mengaburkan fakta oleh pihak-pihak tertentu.
Dalam perkembangan kasus ini, Iwan Kerompot diduga menemui seorang wartawan untuk membungkam pemberitaan terkait tambang ilegal di Kokobuka. Informasi menyebutkan bahwa uang sebesar Rp 5 juta tersebut digunakan sebagai bentuk intimidasi agar tidak ada pemberitaan lebih lanjut mengenai aktivitas ilegal tersebut.
Sekretaris Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI) Sulawesi Tengah sekaligus Pimpinan Umum Media Derap News, Basri M. Djulunau, menyerukan agar pihak berwenang, khususnya Polres Buol, segera mengambil langkah tegas. Ia meminta tidak hanya menindak aktivitas tambang ilegal tetapi juga menyelidiki keterlibatan oknum ASN, wartawan, dan pihak lain dalam mendukung operasional tambang tersebut.
“Jika benar ada keterlibatan wartawan sebagai pendukung tambang ilegal, ini jelas mencederai profesi jurnalis yang seharusnya menjadi kontrol sosial dan penyampai kebenaran,” tegas Basri.
Basri juga menambahkan bahwa kasus ini tidak hanya merusak citra wartawan tetapi juga merugikan masyarakat setempat. Selain dampak sosial, kerusakan lingkungan seperti hilangnya hutan dan penurunan kualitas air di wilayah Kokobuka menjadi masalah serius yang membutuhkan penanganan segera.
Kasus tambang ilegal di Kokobuka menjadi pengingat penting tentang perlunya pengawasan ketat terhadap aktivitas tambang di wilayah rawan eksploitasi. Masyarakat dan sejumlah lembaga pemerhati lingkungan mendesak agar transparansi dan akuntabilitas dari berbagai pihak, termasuk media, ditegakkan untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.
“Kasus ini harus menjadi pelajaran penting agar tidak ada lagi aktivitas ilegal yang merugikan lingkungan dan masyarakat,” pungkas Basri.