Hambali, BSPS, dan Ancaman ke Istana: Suara Keadilan dari Ujung Timur Madura

Hambali, BSPS, dan Ancaman ke Istana: Suara Keadilan dari Ujung Timur Madura

Doc.Foto Hambali Aktivis Kepulauan Sapudi

Catatan Isu BSPS Sumenep

Sumenep, detik1.co.id // Belakangan ini, mencuat suara ancaman akan melaporkan langsung kepada Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran terkait penanganan dugaan korupsi dalam program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Kabupaten Sumenep.

Sosok yang melontarkan pernyataan itu adalah Hambali Rasidi, seorang aktivis vokal asal Madura. Ia mengungkapkan kecurigaannya terhadap adanya praktik tebang pilih dalam pengusutan kasus BSPS tahun 2024.

“Ada yang dipilih, baru ditebang,” ujar Hambali kepada sejumlah media saat berbincang di sebuah warung kopi.

Sikap kritis Hambali terhadap aparat penegak hukum (APH) di Sumenep patut diapresiasi. Atas nama keadilan dan demokrasi, ia dengan tegas menyatakan kesiapannya melapor ke Presiden dan Wakil Presiden bila aparat di daerah dinilai tak bertindak secara adil.

Pertanyaannya: mengapa harus sampai ke Istana?

Hambali memahami satu hal krusial—program BSPS bukan sekadar program lokal. Ini adalah program nasional yang dibiayai dari anggaran Kementerian PUPR. Setiap tahunnya, program ini disalurkan melalui jalur usulan anggota DPR RI, atau yang biasa disebut “aspirator.”

Karena itu, bila memang terdapat penyimpangan di lapangan, sangat wajar jika aparat hukum menelusurinya dari hulu ke hilir. Tidak hanya menyoroti pelaksana teknis, tetapi juga menginvestigasi siapa yang mengusulkan dan mengawal program tersebut.

Namun di sinilah letak persoalan utama. Penegakan hukum di daerah kerap tersandung relasi kuasa dan kepentingan politik.

Dari sikap kritis Hambali, publik menaruh harapan pada suara-suara independen dari kalangan aktivis dan masyarakat sipil di Sumenep.

Hambali bukan hanya mengkritik; ia mendorong agar hukum ditegakkan secara adil, tanpa pandang bulu.

Jika perlu, ia siap mengetuk pintu Istana, karena keadilan di daerah terkadang harus diperjuangkan hingga ke pusat kekuasaan.

Ancaman untuk melapor ke Presiden bukanlah gertakan kosong. Itu adalah bentuk tekanan moral agar hukum tak lumpuh di hadapan kekuasaan. Sebab bila hukum hanya menyasar yang lemah dan membiarkan yang kuat bebas melenggang, di sanalah kepercayaan publik mulai hancur.

Hambali mungkin tidak memiliki kekuasaan. Tapi ia memiliki suara—dan suara itu kini menggema dari Madura, mengguncang kesadaran republik: akankah hukum ditegakkan secara lurus, atau kembali memilih jalan tikus?

Adiyono, aktivis dan pemerhati Sumenep